Dubes UE Bertemu Aktivis Lingkungan Bahas RTRW Aceh
Banda Aceh
– Sejumlah aktivis lingkungan Aceh bertemu dan menggelar diskusi dengan
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Olof Skoog, di salah satu hotel
di Banda Aceh, Senin (16/06/2014) sore.
Dalam pertemuan itu, Farwiza dari
Yayasan HAkA menuturkan kepada dubes UE, ada sejumlah persoalan
lingkungan yang sangat mendasar dan diabaikan Pemerintah Aceh dalam
menyusun Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, yang telah disahkan DPRA
pada akhir tahun 2013 lalu. Antara lain, kata Farwiza, hilangnya
nomenklatur KEL dalam Qanun tersebut.
Menurut Farwiza, hilangnya nomenklatur
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun RTRWA, adalah bentuk
pembangkangan Pemerintah Aceh terhadap aturan yang lebih tinggi yakni
undang- undang yang mengatur KEL sebagai Kawasan Strategi Nasional
(KSN).
“Kami telah berulang kali sampaikan
persoalan ini (KEL) ke Pemerintah Aceh, selama berlangsungnya proses
pembahasan Qanun RTRWA. Namun sampai Qanun ini disahkan, Pemerintah Aceh
tidak peduli dan mengabaikan sejumlah usulan substansi dari elemen
sipil dalam menyusun Qanun Tata Ruang Aceh,” ujar Farwiza.
Selanjutnya, kata Farwiza, para pegiat
lingkungan di Aceh berharap Qanun yang telah dimasukkan dalam lembar
daerah Aceh ini, dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat. “Jika
Pemerintah tidak membatalkan, maka kami akan melakukan judicial review,”
terang dia.
Kepada dubes Uni Eropa, Farwiza
mengharapkan, agar mereka dapat membantu para pegiat lingkungan Aceh
dalam mengadvokasi RTRWA untuk keselamatan hutan dan lingkungan.
Sementara juru bicara Koalisi Peduli
Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma mengatakan, Qanun RTRWA yang disusun
Pemerintah Aceh, dapat mengancam kelestarian hutan dan berdampak potensi
bencana.
“Dalam Qanun RTRWA terdapat perubahan
sejumlah kawasan lindung menjadi kawasan area penggunaan lain. Hal ini
sangat berpotensi merusak hutan. Perubahan kawasan hutan umumnya terjadi
di daerah yang memiliki kandungan sumber daya alam seperti emas dan
batu bara,” kata Efendi.
Efendi Isma menambahkan, para pegiat
lingkungan di Aceh sangat berharap akan terbentuk tim independen untuk
mengawasi persoalan RTRW Aceh. Karena itu, lanjut Efendi, pihaknya
berharap dukungan Uni Eropa agar tim ini terbentuk dan bekerja untuk
penyelamatan hutan Aceh dari penyalahgunaan ruang.
Akademisi Fakultas Hukum Unsyiah,
Mawardi Ismail yang juga hadir dalam pertemuan itu mengatakan, secara
legal formal, jika sudah masuk dalam lembar daerah, maka produk hukum
tersebut sudah sah dan dapat berlaku. Namun, kata dia, jika ada pihak
yang merasa keberatan dapat dilakukan upaya hukum judicial review ke
Mahkamah Agung.
Sedangkan Teuku Muhammad Zulfikar, dari
Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di hadapan dubes UE mengatakan, pihaknya
sangat keberatan dengan sejumlah perubahan kawasan hutan dalam RTRWA.
“Kita tidak setuju perubahan kawasan
hutan. Apalagi terindikasi ada kepentingan pihak tertentu untuk
eksploitasi sumber daya alam Aceh dengan perubahan kawasan hutan
tersebut,” kata T. M Zulfikar.
Setelah mendapat masukan dari para
pegiat lingkungan Aceh, Olof Skoog berjanji akan membicarakan persoalan
RTRWA dengan Pemerintah Aceh dan pusat. Pada prinsipnya, kata Olof, Uni
Eropa konsisten untuk usaha- usaha penyelamatan hutan Indonesia termasuk
Aceh.
Kunjungan pihaknya ke Aceh, sambung
Olof, untuk bertemu dengan berbagai pihak di Aceh khususnya Pemerintah
Aceh, guna membahas sejumlah persoalan Aceh yang menjadi konsentrasi Uni
Eropa khususnya terkait perdamaian, HAM dan lingkungan. (sd)
Sumber:http://atjehlink.com/dubes-ue-bertemu-aktivis-lingkungan-bahas-rtrw-aceh/
No comments:
Post a Comment