Media Asing Soroti Hilangnya Ratusan Ribu Hektar Hutan di Indonesia
Senin, 30 Juni 2014 11:00 WIB
Jakarta
- Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati
Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di
Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh
perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah
kehilangan 6,02 juta hektar hutan.
Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing,
The Guardian dan
Sydney Morning Herald menurunkan pemberitaan dari sumber serupa.
Harian
The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah
kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar
47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda
memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.
Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses
mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil,
sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu,
berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan
tropisnya.
SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.
Padahal menurut
The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.
Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena
Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga
setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut
bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.
Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.
Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis
The Guardian,
justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium
tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin
untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut
menjadi pemicu deforestasi hutan.
Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi
emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen
dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana
senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan
dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat
ini.
Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan
dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.
"Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua," ungkap Belinda.
Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat
sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui
di hutan di Kalimantan dan Papua.
Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan
iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi
di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas
dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.
Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
"Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak
disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan
agro-industri skala besar," tulis kesimpulan dalam studi tersebut.
Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah
hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia
enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau
tidak di tahun ini. [005-Vivanews
Sumber:
http://theglobejournal.com/lingkungan/media-asing-soroti-hilangnya-ratusan-ribu-hektar-hutan-di-indonesia/index.php