Wednesday, July 23, 2014

Poaching Crisis in Indonesia’s Leuser Ecosystem

This article is brought to you by the International League of Conservation Photographers (iLCP). Read our other articles on the National Geographic News Watch blog featuring the work of our iLCP Fellow Photographers all around the world.
Text and photo from iLCP Fellow Paul Hilton.
UPDATE FROM THE FIELD: Paul Hilton and FKL Rangers Expose Wildlife Poaching in Sumatra’s Leuser Ecosystem
Last week I went on patrol with Leuser Conservation Forum Rangers and Aceh forestry staff trekking 60 to 70 kilometers into the Soraya district of the Leuser Ecosystem, Sumatra, Indonesia. The team had been in this area only 3 years before and it was teeming with life.
548A9045-watermarked
MR7A3074-watermarked
IMG_2603-watermarked
Right now there’s more signs of death than there are life. In the 5 days I helped the FKL rangers, we destroy 12 snares and we even caught up with poachers – quite literally – carrying ropes and cables to set more snares. The ranger worked hard to convince the poachers there are better alternatives to committing these crimes and they report them to local authorities, but without more funding to really revolutionize law enforcement here, the poaching crisis is only going to get worse. 
MR7A3198-2-watermarked
An illegal snare awaiting its prey.
The lowest point of the assignment was when we suddenly encountered a large clearing in the middle of the dense forest, a two-day walk from the nearest settlement. This large patch of ground, void of any trees, looked like a man-made clearing. But as our eyes adjusted to the light, the surrounding damaged trees and trampled bush gave it away: the struggle of a very large animal had created this clearing. On the far side we found the remains of an adult Sumatran elephant decomposing in a rusty snare – a complete skeleton, except for its missing tusks.
MR7A3802-watermarked
MR7A3363-watermarked
What hit me hardest was seeing the extent of the elephant’s struggle, so clear from the scene of battered vegetation and splintered trees. How long had this elephant thrashed around trying to break free from the tightening rope? When did its panic give way to exhaustion? How long did it take to die? And were other elephants there to see it?
MR7A3367-watermarked
 MR7A3356-watermarked
Snare-traps are carefully and intentionally designed for different species. This elephant, one of only about 500 left in the whole of the Leuser Ecosystem, died a slow agonizing death for the sake of the price tag on its tusks. As elephant habitat shrinks with continued illegal encroachment into the nationally protected Leuser Ecosystem, human settlements, palm oil plantations and roads increasingly block the Sumatran elephants’ forest migration routes. Habitat loss, poaching and conflict with humans combine to see more and more elephants displaced, snared, shot and poisoned as they attempt to travel along the migration corridors their herds have been following for generations. The dry season just started in Aceh and that means the peak season for poaching. As river levels drop the poachers can access the forests all too easily. Endangered species like the majestic Sumatran elephant cannot withstand another killing season this year.
MR7A0035-watermarked
Rangers care for an orphaned baby elephant, his parents victims of the poachers.
IMG_9591-watermarked
The International Elephant Project, Wildlife Asia and the NGO HAkA are working together to support the work of these 60 FKL rangers. They have years of experience and dedication that is second-to-none. Yet these small local NGOs with 60 men on the ground are trying to protect the 2.6 million hectares of the Leuser Ecosystem against incredible pressures. This ecosystem is the smallest possible area remaining which can support viable populations of Sumatra’s iconic mega-fauna. With a modest regular donation to the International Elephant Project you can help keep the FKL ranger teams doing this critical work on the ground. They rely on your support to increase their presence across the Leuser Ecosystem. Join me in helping to fight the poaching crisis now.

Sumber :http://newswatch.nationalgeographic.com/2014/07/21/poaching-crisis-in-indonesias-leuser-ecosystem/

Friday, July 18, 2014

Media Asing Soroti Hilangnya Ratusan Ribu Hektar Hutan di Indonesia
Senin, 30 Juni 2014 11:00 WIB
Jakarta - Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan.  Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing, The Guardian dan Sydney Morning Herald menurunkan pemberitaan dari sumber serupa.
Harian The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar 47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.
Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil, sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu, berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan tropisnya.
SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.
Padahal menurut The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.
Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.
Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.
Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.
Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.
Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.
"Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua," ungkap Belinda.
Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui di hutan di Kalimantan dan Papua.
Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.
Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
"Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar," tulis kesimpulan dalam studi tersebut.
Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau tidak di tahun ini. [005-Vivanews

Sumber:
http://theglobejournal.com/lingkungan/media-asing-soroti-hilangnya-ratusan-ribu-hektar-hutan-di-indonesia/index.php

Tuesday, July 15, 2014



Kawasan Leuser Terancam Punah Dirusak Perusahaan Malaysia Kabid Kehutanan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara, Muhammad Ichwan. (Foto : Erwin Jalaluddin)

KBR, Lhokseumawe – Ribuan hektar areal Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, terancam punah. Hal itu menyusul dikeluarkannya izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) oleh Pemerintah Aceh kepada perusahaan Malaysia PT Mandum Payah Tamita. 

Kepala Bidang Kehutanan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara, Muhammad Ichwan membenarkan, KEL sangat rawan rusak akibat aktivitas perusahaan asing tersebut. 
“Memang itu berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Jadi, dalam KEL itu kita lihat bertentangan dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh. Pada saat pemberian izin mereka ini kan itu kan tahun 2003 belum ada UUPA, belum ada ketentuan mengenai KEL dalam undang-undang, ” kata Ichwan menjawab KBR, Selasa (1/7).

Menurut dia, Pemerintah Provinsi Aceh seharusnya melakukan pembatalan terhadap izin usaha hasil hutan tanaman campuran itu karena bertentangan dengan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) terkait KEL. 
Terlebih, aksi perambahan hutan dapat menyebabkan bencana alam dan mengancam keselamatan  penduduk sekitar.

Kata Ichwan, izin operasional PT Mandum Payah Tamita terkait pengelolaan hutan sudah dikeluarkan semenjak 2003 oleh bekas Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Namun, izin  itu tidak memenuhi persyaratan dan  kerap menuai masalah lingkungan. 

Editor: Antonius Eko 

Sumber : http://portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/3303275_4264.html

Thursday, July 3, 2014


KOMPAS.com - Kisah bentang alam menjulang tinggi yang tersusun dari batuan gamping berjuta tahun atau karst, tak hanya mengenai batu dan air yang tersimpan di dalamnya.
Karst juga sebuah ekosistem yang memengaruhi ketersediaan pangan manusia. Ada burung, serangga, dan jenis biota unik di kawasan karst. Keberadaan fauna kecil di sana terkait erat dengan vegetasi karst dan sekitarnya.
"Perlu diketahui, keberadaan fauna itu turut menyebarkan benih, memecah biji, bahkan mengendalikan serangga haman" kata Amran Achmad, Guru Besar pada Fak Kehutanan Universitas Hasanudin Makasar pada Lokakarya Ekosistem Karst: Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa, Kamis (3/5/2012).
Menurut ahli zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Yayuk R. Suhardjono, peran fauna karst sangat penting dan khusus. Keberadaan kelelawar di goa karst misalnya, mengendalikan serangga tertentu yang bisa menjadi hama pertanian dan perkebunan. Umumnya, kawasan karst berdampingan dengan persawahan dan perkebunan.
"Kelelawar mampu makan serangga hampir seberat tubuhnya setiap hari. Artinya, potensi hama pertanian bisa diredam secara alami," kata dia.
Ngengat tertentu juga membantu penyerbukan tanaman petai dan kacang-kacangan. Fauna lain juga membantu penyerbukan bunga calon berbagai buah-buahan. "Tahukah kita, misalnya durian itu jadi buah karena fauna karst?" kata Yayuk.
Lalu, siapakah yang menanam pohon buah dan tanaman lain di puncak karst sana? Fauna karst jawabannya. Sayangnya, ketidakpahaman itulah yang mengemuka. Hasilnya, karst-karst di Indonesia yang beragam justru menjadi sasaran pertambangan. Dikeruk dan dipotong untuk bahan produksi bangunan.
Dari sisi penelitian geologis, juga masih minim. Publikasi penelitian karst di Indonesia dilakukan peneliti Belanda pada tahun 1936.
Penelitian saat ini? "Masih butuh kerja sama antarlembaga dan peneliti untuk memaksimalkan hasilnya," kata Eko Haryono, peneliti LIPI. Kawasan karst di Indonesia membentang dari Sumatera hingga Papua. Karst Gunung Sewu dan Maros-Pangkep, merupakan dua yang dikenal di Indonesia. (Gesit Ariyanto) 
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2012/05/03/12041928/Karst.Bukan.Hanya.Batu.dan.Air.

Wednesday, July 2, 2014

Kami akan Terus Berjuang Menjaga Leuser



Rudi Putra: Kami akan Terus Berjuang Menjaga Leuser


1964312

Rudi, intens berkomunikasi dengan warga dan mengajak bersama-sama menjaga Leuser. Foto: dokumen Goldman Prize
Awal Mei lalu, di sebuah warung kopi Ulee Kareng Gayo, Medan, dia sejenak merebahkan tubuh di kursi. Secangkir kopi gayo panas diseruput perlahan.
Dia, Rudi Hadiansyah Putra, biasa disapa Rudi Putra. Yakni, penerima penghargaan tertinggi bidang lingkungan, The Goldman Environmental Prize  atas perjuangannya menyelamatkan kawasan ekosistem Leuser (KEL).
Rudi, satu dari enam warga negara di dunia peraih penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup pada Senin (28/4/14) di San Francisco Opera House, California, Amerika Serikat.
Rudi, bercerita kondisi KEL, dulu, kemarin, dan kini, yang sudah jauh berbeda. Ketika menerima penghargaan itu, dia memaparkan kepada dunia, bagaimana perjuangan menjaga dan melawan penjahat kehutanan. Termasuk menghadapi perusahaan besar yang masuk ke kawasan Leuser dan menyulap hutan menjadi perkebunan sawit.
Perjuangan Rudi tak mudah. Namun, dia tidak akan pernah berhenti. Bersama tim, Rudi akan terus bergerak menjaga keseimbangan alam di KEL, ada maupun tak ada dana. 
Berikut perbincangan Rudi Putra bersama Ayat S Karokaro dari Mongabay-Indonesia, seputar ancaman di KEL dan penghargaan yang dia terima.
Mongabay-Indonesia: anda memperoleh penghargaan karena berjuang menyelamatkan KEL. Bisa diceritakan tentang kondisi KEL kini?
Rudi Putra: Leuser itu sangat penting dilindungi. Kawasan ini bukan hanya berperan mendukung empat juta penduduk di sekitar, juga menjaga keseimbangan dunia, serta melestarikan keragamanhayati, yang tidak ada di tempat lain.
Sekitar 50-70 persen sumber obat-obatan dari hutan tropis, salah satu di KEL. Saya pasti terus bergerak untuk alam, lingkungan KEL, ada atau tidak ada dana.
Ada beberapa spesies di KEL paling terancam punah, yakni badak, gajah, harimau, dan orangutan Sumatera. Ini empat sepesies karismatik dunia. Populasi sangat menghawatirkan.
Data kami, sejak beberapa tahun lalu, dari 2,25 juta hektar kawasan hutan KEL, 25 persen sudah hutan. Laju kerusakan hutan akibat illegalogging, pembukaan perkebunan dan pertambangan. Ini menyebabkan 30% dari 2,25 juta KEL, rusak cukup parah.
Dampaknya, berbagai spesies terancam punah atau mati. Populasi gajah Sumatera di Indonesia sekitar 1.700, 500 hidup di Aceh. Sekitar 400 di KEL. Beberapa tahun ini populasi menurun tajam. Setiap tahun diperkirakan 30 gajah terbunuh, akibat konflik dan diburu.
Begitu juga harimau, di Leuser sekitar 120 ekor. Ini terus menurun tajam. Indikasinya, di berapa tempat dulu banyak harimau, penelitian terbaru, hanya menemukan dua klip foto harimau di areal 6.000 hektar. Clip itu terlihat harimau sangat muda, dan dulu sangat padat habitat harimau. Lokasinya di Gayo Luwes, dan Aceh Tenggara. Begitu juga orangutan, dari 6.000, turun tajam.
Kemungkinan hanya ada penambahan badak, tetapi belum bisa disebutkan. Masih penelitian tim kami di lapangan Jika tidak ada proteksi, lima tahun kedepan satwa-satwa di KEL bisa punah. Poin pentingnya, menjaga keberlangsungan hutan.
Belum lagi, sumber air Aceh, di KEL juga. Banjir karena penebangan hutan di KEL terus dirasakan. Ini sangat merugikan.

Rudi Putra, kala proses penghentian perkebunan sawit ilegal di KEL. Foto: dokumen Goldman Prize
Mongabay-Indonesia: Adakah potensi ancaman lain bagi kelestarian KEL?
Rudi Putra: yang terpenting, bagaimana pemerintah benar-benar menjaga dan melindundungi KEL. Karena ada beberapa rencana yang berpotensi merusak kawasan ini. Kementerian Kehutanan, sudah menyetujui melepas 80.000 hektar KEL menjadi kawasan non hutan, dan 35.000 hektar lagi menunggu persetujuan DPR.
Ada tata ruang yang akan membangun jalan berpotensi merusak KEL. Selanjutnya perizinan penebangan hutan melalui HPH, HTI, dan kegiatan lain, akan di izinkan di KEL, termasuk pertambangan dan perkebunan  dalam waktu dekat. Ini akan menjadi ancaman besar, di depan mata. Fokus utama kami, bagaimana ini bisa dibatalkan, dan bagaimana kawasan konservasi ini tidak habis.
Pesan saya, selamatkan hutan. Hutan Indonesia masih luas, tetapi saya pikir, luas sangat minimum untuk mendukung kehidupan masyakarat. Tanpa hutan, kita akan binasa.
Mongabay-Indonesia: Pembangunan di Indonesia masih mengandalkan sumber daya alam, salah satu kehutanan.  Bagaimana anda melihat ini?
Rudi Putra: Managemen pengelolaan kehutanan terutama kawasan konservasi, harus ditingkatkan dan direformasi. Itu harus cepat dan mendesak. Indonesia harus meninggalkan ekonomi eksploitasi. Dimana-mana, Indonesia dianggap memiliki tanah cukup luas, padahal tidak lagi. Tanah sudah tidak subur akibat kerusakan hutan. Secara alamiah, tidak lagi layak menjadi lahan pertanian. Padahal, negara maju seperti Jepang dan Eropa seperti Finlandia, Swedia dan lain-lain, bisa maju dan berhasil menjaga hutan. Mereka tidak merusak hutan.
Ini yang menjadi pertanyaan saya. Mengapa Indonesia tidak menyadari? Saya terharu ketika di acara begitu besar, perwakilan pemerintah Amerika Serikat, dan seluruh peserta termasuk undangan, tampak sedih dan menangis, melihat bagaimana deforestasi hutan di KEL. hutan Indonesia rusak parah. Tinggalkan ekonomi eksploitasi hutan sekarang juga, agar generasi penerus bisa melihat hutan dan ekosistem tetap ada.

Bersama tim, hari-harinya diisi buat menjaga KEL. Foto: dokumen Goldman Prize
Mongabay-Indonesia: Saat menerima penghargaan, dan berbicara di hadapan masyarakat internasional, apakah mereka tahu KEL? Bagaimana sambutan di sana?
Rudi Putra: Saya kira, dunia tidak mengenal KEL. Ternyata dugaan itu meleset. Mereka sangat tahu.
Sambutan mereka sangat luar biasa, ketika saya bercerita soal hutan dan spesies di Aceh dan Indonesia, yang hadir begitu serius mendengarkan.
Masyarakat dunia sangat menghormati kelestarian lingkungan, termasuk di KEL. Isu sawit Indonesia paling mengemuka, negatif dimata dunia. Apalagi penyebab utama deforestasi di Indonesia, sawit.
Mongabay-Indonesia: Apa yang harus dilakukan agar semua pihak bisa menyadari betapa penting hutan bagi generasi dan kehidupan mendatang?
Rudi Putra: Jika pendidikan, kesejahteraan dan kesadaran sudah terbangun di masyarakat dan dapat dirangkul sebanyak-banyaknya, serta mampu diberikan pemahaman soal hutan dan lingkungan, saya optimistis konservasi akan terjadi.
Mongabay-Indonesia: Menurut anda, sistem ekonomi apa yang dipakai Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam kini? 
Rudi Putra: Ekonomi Indonesia mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam tidak berkelanjutan. Sistem ini dipakai sekarang. Padahal itu hanya ekonomi sesaat. Harusnya, pembangunan ekonomi berkelanjutan, ekonomi hijau yang sesungguhnya.
Mongabay-Indonesia: Setelah ini, apa langkah anda selanjutnya?
Rudi Putra: Bersama tim, kami terus lakukan dan telah berjalan, adalah meningkatkan proteksi spesies langka. Ini sangat penting. Saat ini banyak spesies di KEL menjadi buruan. Meski hutan tersisa dan masih ada, mereka pasti akan punah jika tidak segera dilindungi. Itu mutlak dilakukan.
Lalu, meningkatkan dan menyelesaikan restorasi hutan yang sudah beralihfungsi menjadi perkebunan sawit ilegal, baik yang disita maupun belum.  Juga kampanye kepada masyarakat, pemerintah lokal dan nasional serta internasional akan terus kami lakukan.
Penerima penghargaan The Goldman Environmental Prize, Rudi Putra, sesaat setelah tiba di Medan. Foto: Ayat S Karokaro
Penerima penghargaan The Goldman Environmental Prize, Rudi Putra, sesaat setelah tiba di Medan. Foto: Ayat S Karokaro

Sumber :http://www.mongabay.co.id/2014/06/20/rudi-putra-kami-akan-terus-berjuang-menjaga-leuser/

Badak Sumatera



Badak Sumatera

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan salah satu dari lima spesies badak. Badak ini adalah badak terkecil, memiliki tinggi sekitar 120–145 sentimeter, dengan panjang sekitar 250 sentimeter dan berat 500–800 kilogram. Seperti spesies badak di Afrika, badak ini memiliki dua cula. Badak Sumatra terdapat di Sumatera dan Borneo


Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Badak_sumatera

Ular

Flying Snake (Ular Terbang)

Chrysopelea, atau lebih dikenal sebagai ular terbang, adalah genus yang masuk ke dalam famili Colubridae. Ular terbang adalah binatang yang beracun,[1] meskipun mereka dianggap tidak berbahaya karena racunnya tidak berbahaya bagi manusia.[2] Habitat mereka terletak di Asia Tenggara,[3] kepulauan Melanesia,[4] dan India.[5][6]

 

Chrysopelea dikenal sebagai ular terbang, namun hal ini tidak tepat, karena ular-ular tersebut sebenarnya tidak terbang, melainkan meluncur atau melompat. Ular terbang adalah hewan yang diurnal, sehingga mereka berburu pada siang hari. Hewan buruan mereka adalah kadal, kodok, burung dan kelelawar.[6][7]



Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Chrysopelea 
Picture: Faisal Selian Photo Grafer

Tuesday, July 1, 2014

Dubes UE Bertemu Aktivis Lingkungan Bahas RTRW Aceh



Dubes UE Bertemu Aktivis Lingkungan Bahas RTRW Aceh


Banda Aceh – Sejumlah aktivis lingkungan Aceh bertemu dan menggelar diskusi dengan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Olof Skoog, di salah satu hotel di Banda Aceh, Senin (16/06/2014) sore.
Dalam pertemuan itu, Farwiza dari Yayasan HAkA menuturkan kepada dubes UE, ada sejumlah persoalan lingkungan yang sangat mendasar dan diabaikan Pemerintah Aceh dalam menyusun Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, yang telah disahkan DPRA pada akhir tahun 2013 lalu. Antara lain, kata Farwiza, hilangnya nomenklatur KEL dalam Qanun tersebut.
Menurut Farwiza, hilangnya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun RTRWA, adalah bentuk pembangkangan Pemerintah Aceh terhadap aturan yang lebih tinggi yakni undang- undang yang mengatur KEL sebagai Kawasan Strategi Nasional (KSN).
“Kami telah berulang kali sampaikan persoalan ini (KEL) ke Pemerintah Aceh, selama berlangsungnya proses pembahasan Qanun RTRWA. Namun sampai Qanun ini disahkan, Pemerintah Aceh tidak peduli dan mengabaikan sejumlah usulan substansi dari  elemen sipil dalam menyusun Qanun Tata Ruang Aceh,” ujar Farwiza.
Selanjutnya, kata Farwiza, para pegiat lingkungan di Aceh berharap Qanun yang telah dimasukkan dalam lembar daerah Aceh ini, dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat. “Jika Pemerintah tidak membatalkan, maka kami akan melakukan judicial review,” terang dia.
Kepada dubes Uni Eropa, Farwiza mengharapkan, agar mereka dapat membantu para pegiat lingkungan Aceh dalam mengadvokasi RTRWA untuk keselamatan hutan dan lingkungan.
Sementara juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma mengatakan, Qanun RTRWA yang disusun Pemerintah Aceh, dapat mengancam kelestarian hutan dan berdampak potensi bencana.
“Dalam Qanun RTRWA terdapat perubahan sejumlah kawasan lindung menjadi kawasan area penggunaan lain. Hal ini sangat berpotensi merusak hutan. Perubahan kawasan hutan umumnya terjadi di daerah yang memiliki kandungan sumber daya alam seperti emas dan batu bara,” kata Efendi.
Efendi Isma menambahkan, para pegiat lingkungan di Aceh sangat berharap akan terbentuk tim independen untuk mengawasi persoalan RTRW Aceh. Karena itu, lanjut Efendi, pihaknya berharap dukungan Uni Eropa agar tim ini terbentuk dan bekerja untuk penyelamatan hutan Aceh dari penyalahgunaan ruang.
Akademisi Fakultas Hukum Unsyiah, Mawardi Ismail yang juga hadir dalam pertemuan itu mengatakan, secara legal formal, jika sudah masuk  dalam lembar daerah, maka produk hukum tersebut sudah sah dan dapat berlaku. Namun, kata dia, jika ada pihak yang merasa keberatan dapat dilakukan upaya hukum judicial review ke Mahkamah Agung.
Sedangkan Teuku Muhammad Zulfikar, dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di hadapan dubes UE mengatakan, pihaknya sangat keberatan dengan sejumlah perubahan kawasan hutan dalam RTRWA.
“Kita tidak setuju perubahan kawasan hutan. Apalagi terindikasi ada kepentingan pihak tertentu untuk eksploitasi sumber daya alam Aceh dengan perubahan kawasan hutan tersebut,” kata T. M Zulfikar.
Setelah mendapat masukan dari para pegiat lingkungan Aceh, Olof Skoog berjanji akan membicarakan persoalan RTRWA dengan Pemerintah Aceh dan pusat. Pada prinsipnya, kata Olof, Uni Eropa konsisten untuk usaha- usaha penyelamatan hutan Indonesia termasuk Aceh.
Kunjungan pihaknya ke Aceh, sambung Olof, untuk bertemu dengan berbagai pihak di Aceh khususnya Pemerintah Aceh, guna membahas sejumlah persoalan Aceh yang menjadi konsentrasi Uni Eropa khususnya terkait perdamaian, HAM dan lingkungan. (sd)
Sumber:http://atjehlink.com/dubes-ue-bertemu-aktivis-lingkungan-bahas-rtrw-aceh/

Illegal Trade of Wild Animals Alarming Level

Illegal Trade of Wild Animals Alarming Level
Illegal Trade of Wild Animals Alarming LevelThe illegal trade and hunting of wild animals, including endangered Sumatran tigers and elephants, has reached alarming levels in several parts of Sumatra. In Deli Serdang regency, North Sumatra, a forest ranger team on Tuesday arrested two people believed to be members of a wild animal trade syndicate.
They were caught while trading two stuffed Sumatran tigers (Panthera tigris sumatrae) believed to have been a year old at the time of their death.
"This is not the first arrest we've made in the last month," head of the natural resource conservation center at the North Sumatra forestry office Djati Wicaksono said.
Just two weeks earlier, he said, his office arrested four people trading a Sumatran tiger skin in Tiga Binanga, Karo regency.
Both the skin and stuffed tigers were taken from Leuser, Southeast Aceh, Djati said. Medan, the capital of North Sumatra, has reportedly become a favored place for the illegal trade because there are many buyers in the city.
Mount Leuser National Park head Nurhadi Utomo said he suspected poachers might have help from the authorities as they seemed to have no difficulties smuggling their wares out of Aceh.
"In fact, we have many check posts they must pass through," Nurhadi told The Jakarta Post in Medan on Tuesday.
In Bandarlampung, local nongovernmental organizations said Lampung had increasingly become a major hub for the trade of endangered animals due to its proximity to Java.
"Lampung is a transit area and production center of ivory handicrafts," said an NGO staffer who asked not to be named, adding that a group of 12 elephant ivory hunters and financial backers had since 2003 sold over 1,200 kilograms of ivory taken from some 47 elephants.
He said that in Way Kambas, a group of 19 ivory hunters, financial backers and craftsmen had sold nearly 1,800 kilograms of ivory from approximately 52 elephants over the same period.
The supply of ivory does not only come from the Way Kambas National Park in Lampung, but also South Sumatra, Bengkulu, Riau, Jambi and South Sumatra.
The source also said a former regent had a collection of 103 daggers whose frames and handles were made of elephant ivory.
"All together, it's the equivalent of 20-30 elephants. That's just from a single person's collection."
Emon, an activist of the Lampung-based environmental NGO Pratala, separately said financial backers often made use of locals to hunt elephants for ivory.
An investigation conducted by the Wildlife Conservation Society revealed routes regularly used to smuggle illegal animals through Jakarta, Batam, Singapore and Dumai before being shipped to Malaysia.
Jakarta's Soekarno-Hatta International Airport has also been named as a shipment terminal for live and frozen animals to Hong Kong and China.
ProFauna Indonesia chairman Rosek Nursahid said in Malang, East Java, conflicts between humans and animals have frequently been used to justify the illegal hunting of wild animals
"They (poachers) kill wild elephants, for example, and report that the animals attacked a residential area and frightened residents," said Rosek, adding that such circumstances were only infrequently the case.
Light legal sanctions on perpetrators have been blamed for the difficulties in curbing illegal hunting.
The 1990 law on the conservation of natural resources and ecosystems carries a maximum penalty of five years in prison or a maximum fine of Rp 100 million. In practice, however, convicted perpetrators have mostly served a maximum of only five months in prison.
Wahyoe Boediwardhana contributed to this article from Malang, East Java. (The Jakarta Post)

Our Action

Press Release: Struggle to Reclaim the Lost Forest - BPKEL Continue Clearing Illegal Plantations from Protected Areas
Palm oil causing drought
Aceh Tamiang - In many parts of the Indonesia, forest are continuously being cleared to make way for new plantations while in Aceh regulations are being reinforced and thousands of hectares illegal palm oil plantations located within protected areas were reclaimed its legal status as protected forest.
Since beginning of 2009 BPKEL have managed to revoked 24 illegal plantation permits operating within protected areas, amounting to 3700 hectares of planted palm oil plantations and thousands more hectare or forest that has been cleared but not yet planted.
As recently as last week, the restoration work continues with its bold move to remove illegal palm oil plantations within the boundary of protected forest of Leuser Ecosystem in Aceh Tamiang. The plantation area removed last week amounted to 460 hectares previously owned by two companies; PT. BS (120 hectares) and a businessman from North Sumatra with initial T (340 hectares).
The final restoration efforts of these two plantations finally take place after both of the owners voluntarily surrender their concession. It is a long process; the whole procedure of being persuasive and sending warning letter stretch throughout one good year until the owners finally gave in. This success could only come about with massive support given by Aceh Tamiang Police Force as well as community support.
Termination of these illegal activities is conducted with tremendous support from the local community, local NGO's such as Lembaga Bina Arsitektur Madani (Lebam) and Tamiang Peduli (TAPE), as well as four villages located around these illegal plantations; Kampong Pante Cempa, Pengidam, Bengkelang and Batu Bedulang - who send out 20 volunteer to cut down the palm oil.
Conversation continues with the remaining of 9 large scale illegal plantation owners, heading towards the closure of the plantations and rehabilitation of natural forest in the area.

http://leuserecosystem.org/en/news/recent-news/317-press-release-struggle-to-reclaim-the-lost-forest-bpkel-continue-clearing-illegal-plantations-from-protected-areas.html

Blog Archive