Thursday, March 17, 2016

SATWA LIAR ADALAH BAGIAN MAKHLUK HIDUP YANG ADA DI DUNIA YANG SALING BERKAITAN DENGAN KEHIDUPAN MANUSIA

Kadang terpikir oleh kita mengapa lembaga - lembaga yang bergerak dibidang lingkungan melakukan perlindungan hanya kepada satwa liar, tidak langsunga kepada manusianya. Sebenarnya itu adalah permasalahan yang jelas memiliki kaitan antara manusia dan satwa liar, kita dapat memberi contoh misalnya: pada seekor burung . Berdasarkan siklus perputaran ekologis, burung merupakan salah satu satwa yang melakukan perkembangan pembenihan atas setiap pohon-pohon yang ada dihutan, dapat kita contohkan disaat burung mencari makanan buah-buahan, sedikit banyaknya pasti setiap burung tersebut melakukan penyebaran biji-biji benih pohon baru bekas sisa pakan, sehingga dalam proses suksesi alami ini perkembangan bibit-bibit baru berjalan secara sendirinya sehingga kelestarian ekosistem berjalan sesuai dengan perputaran ekologi, yang berdampak terhadap keberlangsungan hidup seluruh makhluk yang ada didunia ini.

Pohon merupakan salah satu penyedia dan penyebar oksigen didunia ini, sehingga menjadi hal yang naif apabila manusia tidak mengetahui apapentingnya pepohonan bagi umat manusia. jangan sampai hal yang terjadi baru-baru ini seperti negara cina, amerika dan negara lain yang penyumbang emisi paling tinggi didunia dimana mereka membeli oksigen dari ukraina untuk dijadikan alat pernapasan sehari-hari. mari kitajaga ekosistem hutan beserta isinya, karena secara tidak langsung dampak positif yang sangat besar yang akan kita rasakan kelak, salah satunya kita tidak susah payah untuk membeli. oksigen dari negara luar, (FS) 18/03/2016 




Friday, March 11, 2016

Logging di Aceh Tamiang berhasil diamankan sebanyak 8 Ton oleh jajaran Polres Aceh Tamiang

Wednesday, July 23, 2014

Poaching Crisis in Indonesia’s Leuser Ecosystem

This article is brought to you by the International League of Conservation Photographers (iLCP). Read our other articles on the National Geographic News Watch blog featuring the work of our iLCP Fellow Photographers all around the world.
Text and photo from iLCP Fellow Paul Hilton.
UPDATE FROM THE FIELD: Paul Hilton and FKL Rangers Expose Wildlife Poaching in Sumatra’s Leuser Ecosystem
Last week I went on patrol with Leuser Conservation Forum Rangers and Aceh forestry staff trekking 60 to 70 kilometers into the Soraya district of the Leuser Ecosystem, Sumatra, Indonesia. The team had been in this area only 3 years before and it was teeming with life.
548A9045-watermarked
MR7A3074-watermarked
IMG_2603-watermarked
Right now there’s more signs of death than there are life. In the 5 days I helped the FKL rangers, we destroy 12 snares and we even caught up with poachers – quite literally – carrying ropes and cables to set more snares. The ranger worked hard to convince the poachers there are better alternatives to committing these crimes and they report them to local authorities, but without more funding to really revolutionize law enforcement here, the poaching crisis is only going to get worse. 
MR7A3198-2-watermarked
An illegal snare awaiting its prey.
The lowest point of the assignment was when we suddenly encountered a large clearing in the middle of the dense forest, a two-day walk from the nearest settlement. This large patch of ground, void of any trees, looked like a man-made clearing. But as our eyes adjusted to the light, the surrounding damaged trees and trampled bush gave it away: the struggle of a very large animal had created this clearing. On the far side we found the remains of an adult Sumatran elephant decomposing in a rusty snare – a complete skeleton, except for its missing tusks.
MR7A3802-watermarked
MR7A3363-watermarked
What hit me hardest was seeing the extent of the elephant’s struggle, so clear from the scene of battered vegetation and splintered trees. How long had this elephant thrashed around trying to break free from the tightening rope? When did its panic give way to exhaustion? How long did it take to die? And were other elephants there to see it?
MR7A3367-watermarked
 MR7A3356-watermarked
Snare-traps are carefully and intentionally designed for different species. This elephant, one of only about 500 left in the whole of the Leuser Ecosystem, died a slow agonizing death for the sake of the price tag on its tusks. As elephant habitat shrinks with continued illegal encroachment into the nationally protected Leuser Ecosystem, human settlements, palm oil plantations and roads increasingly block the Sumatran elephants’ forest migration routes. Habitat loss, poaching and conflict with humans combine to see more and more elephants displaced, snared, shot and poisoned as they attempt to travel along the migration corridors their herds have been following for generations. The dry season just started in Aceh and that means the peak season for poaching. As river levels drop the poachers can access the forests all too easily. Endangered species like the majestic Sumatran elephant cannot withstand another killing season this year.
MR7A0035-watermarked
Rangers care for an orphaned baby elephant, his parents victims of the poachers.
IMG_9591-watermarked
The International Elephant Project, Wildlife Asia and the NGO HAkA are working together to support the work of these 60 FKL rangers. They have years of experience and dedication that is second-to-none. Yet these small local NGOs with 60 men on the ground are trying to protect the 2.6 million hectares of the Leuser Ecosystem against incredible pressures. This ecosystem is the smallest possible area remaining which can support viable populations of Sumatra’s iconic mega-fauna. With a modest regular donation to the International Elephant Project you can help keep the FKL ranger teams doing this critical work on the ground. They rely on your support to increase their presence across the Leuser Ecosystem. Join me in helping to fight the poaching crisis now.

Sumber :http://newswatch.nationalgeographic.com/2014/07/21/poaching-crisis-in-indonesias-leuser-ecosystem/

Friday, July 18, 2014

Media Asing Soroti Hilangnya Ratusan Ribu Hektar Hutan di Indonesia
Senin, 30 Juni 2014 11:00 WIB
Jakarta - Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan.  Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing, The Guardian dan Sydney Morning Herald menurunkan pemberitaan dari sumber serupa.
Harian The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar 47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.
Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil, sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu, berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan tropisnya.
SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.
Padahal menurut The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.
Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.
Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.
Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.
Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.
Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.
"Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua," ungkap Belinda.
Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui di hutan di Kalimantan dan Papua.
Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.
Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
"Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar," tulis kesimpulan dalam studi tersebut.
Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau tidak di tahun ini. [005-Vivanews

Sumber:
http://theglobejournal.com/lingkungan/media-asing-soroti-hilangnya-ratusan-ribu-hektar-hutan-di-indonesia/index.php

Blog Archive